Monday 8 July 2019

Minimalisasi dalam Pendidikan

Minimalisasi dalam Pendidikan

Minimalisasi dalam Pendidikan


KARCISTOTO SEMUA orang sangat menyukai hal-hal yang maksimal dan agak tidak banyak murung saat menghadapi fakta yang minimal. Namun, urgen untuk dikenang bahwa esensi maksimal dan minimal tersebut netral, sama-sama baik dan sama-sama buruk. Tulisan ini akan tidak banyak mengupas urusan yang terakhir, menimbang dan mengusulkan hal-hal yang minimal.

NONTON MOVIE Dalam kehidupan abad canggih dewasa ini, hal unik yang dapat diamati dan diperbincangkan merupakan kehidupan digital. Ada dua sikap yang lazim dilaksanakan dalam menjalani kehidupan digital yaitu; kesatu, mendominasikan dan memaksimalkan segala lini kehidupan dengan aneka kegiatan yang melibatkan gawai-gawai digital. Kedua, meminimalisasikan kegiatan dari keterlibatan perlengkapan digital dimaksud.

BANDAR TOTO ONLINE Sangat tidak tepat andai muncul anggapan bahwa teknik hidup yang kesatu lebih sesuai dengan zaman kini dan bahwa orang yang menghindari falsafah demikian ialah kelompok kolot, ketinggalan zaman, atau bahkan dirasakan manusia gua. Namun demikian, tidak seksama pula saat mengklaim bahwa esensi hidup yang sebetulnya tecermin dari gaya hidup tanpa gawai semata.

Ujaran badung seperti smart phones for idiot people tidak perlu hadir untuk menguatkan pandangan ini. Dalam bukunya, Digital Minimalism (2019), Cal Newport menguraikan bahwa hendaknya orang-orang di zaman digital ini butuh mengorganisasi pulang pola hidupnya yang terlampau berlebihan bergantung pada benda-benda digital di dekat mereka sampai-sampai menghilangkan hakikat kehidupan insan sebagai makhluk sosial. Penggunaan alat-alat digital yang berpengaruh terbukti berkontribusi negatif terhadap kehidupan sosial dan psikologis semua pemakainya, utamanya pemakai gawai-gawai modern yang dilengkapi berbagai software media sosial.

Sang profesor mendesak kampanye hidup minimalis digital urgen untuk segera diterapkan sebab melihat hasil studi teranyar yang mengaku bahwa kalangan digital native telah semakin kehilangan kontrol atas diri sendiri sehingga mayoritas waktunya dikuras dengan aktivitas-aktivitas di depan layar smartphone. Akibatnya, Anda mesti lebih sabar ketika berkata dan bertukar pikiran dengan mereka sebab mereka lebih senang memeriksa notifikasi media sosial dan software smartphone daripada menanggapi kita sebagai lawan bicara.

Mereka laksana lebih dekat dan perhatian dengan orang-orang jauh, namun jauh dan menyia-nyiakan orang-orang terdekat. Bahkan, ketergantungan ini bahkan menciptakan pemakainya terjangkiti psychological disorder, yaitu merasa tidak nyaman andai si gawai berada jauh dari mereka.

Kampanye minimalisasi digital yang sangat keras ternyata malah digaungkan 'orang dalam' industri digital tersebut sendiri. Tristan Harris, seorang mantan direktur dan insinyur Google yang mulai cemas dengan gejala negatif perilaku pemakai media sosial dan software smartphone, terbit dari industri ini dan memilih hidupnya menjadi seorang whistleblower.

Dalam wawancaranya di HBO 2017 dan rekaman pidatonya di website TED, ia mengemukakan bahwa terdapat kesengajaan disertai usaha yang terstruktur, sistematis, dan masif dari semua insinyur dan sarjana Silicon Valley guna mengekang semua pemakai software dan media sosial supaya terus menguras waktunya di depan layar. Tentunya destinasi dari usaha ini merupakan membuat kurva penghasilan dari iklan dan penjualan dari bisnis utama perusahaan-perusahaan raksasa ini supaya terus naik. Ia berujar, "Ketika kita mulai mengakses smartphone Anda, ketika tersebut pula sebanyak sarjana dan insinyur di belakang layar bakal bekerja maksimal supaya Anda terus menatap layar Anda."

Selanjutnya, profesor Newport mengadukan bahwa dalam penelitiannya di 2017 yang diberi nama Digital Declutter, lebih dari 1.600 narasumber berpartisipasi dangan teknik meninggalkan gawainya sekitar sebulan penuh, mengeksplor kegiatan dan pekerjaan yang bermanfaat, serta mengorganisasi kembali perlengkapan teknologi yang bakal digunakan. Hasil riset ini mengindikasikan bahwa beberapa besar responden merasa bahagia di akhir bulan tersebut sebab mereka terlepas dari kontrol gawainya dan mendapat kembali masa-masa berharga yang sekitar ini terampas. Bahkan, mereka mengaku dapat menggunakan masa-masa yang sekitar ini hilang guna melakukan kegiatan yang lebih bermakna, laksana berinteraksi dengan keluarga, tetangga, dan teman kerja, serta menyimak empat kitab sebulan.

Minimalisasi instruksi dan tes

Dalam dunia pendidikan, konsep minimalis yang pun sangat popular merupakan konsep less is more ala Finlandia. Dalam bukunya, Finnish Lessons (2011), Pasi Sahlberg mengemukakan bahwa kecenderungan dunia edukasi mainstream merupakan merevisi kurikulum, meningkatkan jumlah jam instruksi di kelas, dan meningkatkan PR saat para murid gagal mengindikasikan performa yang diinginkan dalam penilaian pembelajaran. Dalam pemaparannya, Pasi secara lantang menuliskan bahwa paling sedikit korelasi antara banyaknya jumlah instruksi di ruang belajar dan hasil performa siswa, sebagaimana sudah diuji PISA.

Negara-negara yang merealisasikan sistem instruksi formal di ruang belajar dengan jumlah yang tinggi (Italia, Portugal, dan Yunani), bahkan mengindikasikan peringkat yang lebih rendah daripada negara-negara yang merealisasikan sistem instruksi formal di ruang belajar dengan jumlah jam paling tidak (Finlandia, Korea, dan Jepang). Jika perbedaan jumlah instruksi di ruang belajar ini dijumlahkan, hasilnya merupakan siswa-siswa di Italia bersekolah lebih lama 2 tahun dari teman-teman seusianya di Finlandia. Bahkan, ia pun menuliskan bahwa anak-anak di Italia mulai sekolah di umur 5 tahun, sementara anak-anak Finlandia baru mulai sekolah saat berumur 7 tahun. Perbedaan masa-masa belajar formal dari kedua bangsa ini semakin kentara. Kita pun semakin yakin bahwa banyaknya jumlah masa-masa belajar tidak serta-merta menambah prestasi siswa.

Selanjutnya, Pasi pun memaparkan bahwa secara global terdapat asumsi dalam edukasi yang mengaku bahwa persaingan dan tes yang ditambah ialah prasyarat untuk menambah kualitas pendidikan. Dengan memakai database tes PISA, ia mengemukakan bahwa Amerika Serikat, Inggris, Selandia Baru, Jepang, Kanada, dan Australia dapat digunakan sebagai benchmark untuk penganut paham ini bila dikomparasikan dengan Finlandia yang menganut paham test less learn more. Tren performa semua siswa dari negara-negara kumpulan kesatu ingin menurun dalam periode antara 2000-2006 bila dikomparasikan dengan Finlandia. Tentu saja kenyataan ini tidak dapat digunakan untuk mendakwa bahwa situasi di negara kumpulan kesatu merupakan bukti gagalnya sistem reformasi edukasi ala tes-tes dan kompetisis-kompetisi. Setidaknya kenyataan ini lumayan menggambarkan bahwa seringnya pemakaikan tes bukanlah prasyarat untuk menambah kualitas pendidikan. Tes dan persaingan tentunya mesti anda pahamkan sebagai sebuah hal yang netral. Namun, sejumlah catatan seputar tes pun harus anda cermati dengan hati-hati, tidak boleh sampai tes mengolah paradigma pendidikan semua guru dan murid yang mestinya teaching for understanding menjadi teaching for drilling, memorizing, and testing. Finlandia memperlihatkan bahwa masih ada pilihan cara yang terbukti dan teruji pun sangat efektif untuk menaikkan kualitas pendidikan.

Air, api, dan garam yang tidak sedikit (baca: maksimal) melulu mengakibatkan malapetaka, nestapa, dan bencana. Sementara itu, air, api, dan garam yang tidak banyak (baca: minimal) akan membawa kemaslahatan dan keselamatan. Wallahualam.